Tukang Masak Bangsat dari Kelapa Gading

Philip Budihardja, dengan seringai dan tanpa sedikit pun rasa bersalah, menegaskan satu hal: dia berbisnis untuk membuat makanan, bukan untuk membuat para customer merasa istimewa. Kalau tidak bisa membaca peraturan restoran atau tidak menghormati batasan pribadinya, balasannya cepat dan tegas: “Go to hell, man.”

Namun, di balik sikap galaknya, ada sosok pria muda dengan prioritas yang sangat mulia. Ko Philip adalah koki sekaligus pemilik Warung SCI Prikphun Manow, tempat makan Thai-fusion yang punya kapasitas maksimal 16 orang. Warung ini dijalankan murni karena hasrat, kejujuran yang blak-blakan, dan tekad seseorang yang menolak tunduk pada norma-norma dunia F&B Jakarta. Meskipun SCI secara resmi adalah singkatan dari Saya Cinta Indonesia, hati Ko Philip lebih dekat ke Bangkok daripada Bundaran HI.

Perjalanan Ko Philip ke dapur bukanlah penyimpangan, melainkan sebuah bentuk perlawanan. Keluarganya menjunjung tinggi stabilitas dan mendorongnya untuk mengambil jurusan Teknik Industri. Namun, setelah dengan patuh menyelesaikan pendidikannya untuk meraih gelar, dia langsung belok ke arah lain. “Gue pengen kejar mimpi gue,” ujarnya, datar.

Ibunya, seorang penyedia jasa katering, adalah mentor pertamanya orang yang menumbuhkan rasa cinta Ko Philip terhadap dapur. Namun, titik balik yang sesungguhnya datang setelah masa yang ia sebut sebagai periode kelam dalam hidupnya, ketika ia “terdampar” di Thailand setelah singgah sebentar di Penang, Malaysia. Masa ini menjadi kawah candradimuka baginya, saat ia menyelami budaya dan makanan Thailand secara total transformasi yang tak hanya profesional, tapi juga spiritual.

Ia cepat menyadari bahwa masakan Thailand sangat beragam, dan menurutnya, lidah orang Indonesia sering kali hanya disuguhi versi permukaan. “Semua restoran Thai isinya pad thai, tom yam, som tam. Padahal, Thai food itu luas banget,” dia mengeluh. Ia bahkan punya saran buat turis yang mampir ke Bangkok: carilah tempat makan lokal yang tak punya menu berbahasa Inggris dan pelayan yang tak senyum basa-basi. Keterbukaan menjadi kuncinya, dan eksplorasi inilah yang membentuk pendekatan Ko Philip untuk menyajikan makanan yang jauh dari sekadar komersial.

Seorang mentor asal Thailand Utara pernah menantangnya untuk memikirkan ulang makna kuliner Thai bukan yang ditujukan untuk turis, melainkan makanan rumahan yang disantap sehari-hari. Ujian sebenarnya datang saat sang mentor memercayai Ko Philip untuk memasak resep tom yam milik keluarga. Syaratnya: seluruh anggota keluarga sang mentor akan mencicipinya. Kalau satu saja tak setuju, ia dilarang memasak resep itu lagi.

Meskipun akhirnya lulus ujian tersebut, Ko Philip tahu bahwa membuat resep tersebut persis seperti aslinya tidak akan cocok dengan lidah orang Indonesia. “Jadi makanya pas gua di itu tetep gua bilang gua fusion. Karena gua masih bawa influence gua yang dari Penang,” ucapnya, mengakui bahwa waktu yang ia habiskan di Penang juga sangat memengaruhi gaya masaknya.

Pada 2013, dengan restu penuh dari sang ibu, Ko Philip memulai Warung SCI sebagai warung kaki lima semi-permanen di Goro. Diapit pedagang burung dan ikan, ia sengaja memulainya secara kecil-kecilan dan menumbuhkan usahanya secara organik tanpa utang bank atau tekanan investor. “Gue anggap bisnis ini kayak bayi baru brojol,” katanya. “Enggak bisa langsung gede. Bisa mati.”

Pola pikir itu tetap dibawanya saat Warung SCI pindah ke ruko sederhana di Jalan Raya Kelapa Hibrida. Mengaku sebagai “tukang masak bangsat”, Ko Philip menjalankan dapurnya tanpa basa-basi, yang enggan meladeni permintaan khusus pelanggan. “Gue enggak suka basa-basi. Gue enggak jual gimik,” katanya. Meski banyak pelanggan menyarankan renovasi atau upgrade interior, dia tetap kukuh. Pengunjung tanpa reservasi akan ditolak, dan kursi hanya disediakan bagi yang sabar menunggu. Menu dan porsi terbatas—dan jangan harap minta diskon. “Kalo dibaikin, dibaikin, kepala lo jadi keset,” ia bergumam—filsafat blak-blakan yang menjaga harga dirinya sekaligus kelancaran dapur.

Prinsip yang sama berlaku untuk pesanan di luar menu. Apa yang tersedia hari itu, itulah yang disajikan. “Kalau lo minta menu yang enggak ada di situ, ya, gue nggak bakal ladenin.” Permintaan diet khusus? Tidak dilayani. “Enggak usah makan di gue. Lo mau makan seafood, terus lo gluten free, terus lo alergi, lo nggak usah makan di gue, beres,” ujarnya tanpa basa-basi.

Menyebut Ko Philip sekadar “koki” jelas terlalu sempit. Sikap kerasnya lahir dari keyakinan bahwa memasak adalah seni sesuatu yang digerakkan oleh rasa dan kejujuran, bukan kustomisasi tanpa batas. “Buat gue, makanan yang gue masak itu art gue. Masak buat cari duit beda sama masak dari hati,” dia menjelaskan. Bukan berarti dia senang menolak pelanggan, tapi dia berharap orang menghormati karya dan ketulusannya yang ia tuangkan dalam setiap piring.

Visinya soal masa depan pun sederhana dan jujur: “Gue pengen tetap sehat, biar bisa terus di dapur.” Itu saja. Tidak ada omongan soal membuka cabang, food truck, atau membangun imperium kuliner hanya harapan yang tenang untuk terus memasak selama tubuhnya masih memungkinkan. Pada akhirnya, yang ia tawarkan di Warung SCI bukan sekadar makanan, melainkan bentuk perlawanan sunyi terhadap gimik dan keramahan yang kosong makna. 

Mereka yang datang ke Warung SCI bukan hanya karena lapar, tapi juga karena penasaran, akan pulang dengan perut kenyang dan jiwa yang terisi. Setiap piring menyimpan jejak siapa itu Ko Philip: seseorang yang membangun hidupnya di atas hal yang ia cintai dan tak pernah menoleh ke belakang.

“Ditanya cita-citanya mau jadi apa. Gua selalu sebut, gua mau jadi koki,” ujarnya sambil menyeringai lebar. “I'm living my dream.”



Dan berapa banyak dari kita yang bisa berkata demikian?


Discover Other Stories