Pasangan dalam Hidup, Pemberani dalam Bisnis

Jalan Kelapa Kopyor adalah surga bagi para pencinta bakmi, dengan deretan tempat makan yang menyajikan bakmi terbaik di Jakarta. Namun, bagi warga Kelapa Gading yang ingin mencoba makanan selain bakmi, ada alternatif tersembunyi di depan mata. Di antara deretan kedai mi, berdiri Gado-Gado AA, sebuah restoran yang menghidangkan masakan rumahan khas Jawa dengan sentuhan modern.

Membuka usaha gado-gado di lingkungan yang terkenal dengan mi-nya memerlukan satu kepribadian tertentu—atau, dalam kasus ini, dua. Pasangan suami-istri Oom Teddy Stanley dan Tante Lianawati rela meninggalkan karier yang mapan di industri yang sama sekali berbeda sebelum terjun ke bisnis kuliner. Oom Teddy, yang berkepribadian ekstrovert, adalah orang yang suka bergaul, bergerak menyusuri restoran dengan penuh kehangatan, dan sering bercanda dengan para pelanggan maupun teman baru.

Sebaliknya, Tante Lianawati merupakan sosok yang paling penting di balik pengoperasian sangat teliti dan gigih dalam dedikasinya terhadap kualitas. OomTeddy bisa dibilang sebagai sosok yang mewakili bisnis ini, sedangkan Lianawati merupakan tulang punggungnya, memastikan semua hidangan yang disajikan memenuhi standar yang ia inginkan. Menurut suaminya, ia sama sekali tidak pernah banyak menuntut, sekalipun itu di rumah tidak pernah minta berbelanja atau berlibur ke luar negeri. Dia makan apa yang dia buat dan sering kali menyisihkan seporsi gado-gado untuk dirinya sendiri setelah selesai menyiapkan makanan untuk hari itu. “Kemarin juga saya ngintip, dia tetap aja makan gado-gado,” Oom Teddy terkekeh dengan sedikit jengkel.

Tak hanya sebagai sumber penghasilan, makanan juga merupakan bagian dari kegemaran mereka. Tidak jarang Oom Teddy dan Tante Lianawati pergi ke kota lain untuk sekadar kulineran, lalu kembali ke rumah pada malam hari. Perjalanan kuliner dadakan seperti ini telah membentuk selera mereka dan makin menguatkan keyakinan bahwa hidangan yang lezat memang sepadan dengan perjalanannya, baik sebagai pengunjung maupun orang yang menyajikannya.

Perjalanan mereka ke dunia kuliner sebenarnya tidak disengaja. Oom Teddy berasal dari Bangka, sementara Tante Lianawati dibesarkan di Probolinggo, Jawa Tengah. Mereka bertemu di Semarang, di sanalah kedekatan mereka secara personal maupun profesional mulai terjalin. Ibunda Tante Lianawati, seorang pengusaha katering yang berpengalaman, adalah orang yang pertama kali mendorong mereka untuk memulai bisnis ini. Resepnya menjadi landasan, tetapi Tante Lianawati menerapkan pendekatan berdasarkan intuisi terhadap cita rasa sehingga membuat hidangannya menonjol. Saat sebagian besar gado-gado menggunakan kacang tanah biasa, Tante Lianawati justru beralih ke kacang mete untuk mendapatkan tekstur yang lebih lembut.

Ketika pertama kali membuka usaha pada 2002, para pelanggan sempat ragu. “Datang lima orang, mereka coba satu piring. Piring diputar dulu, baru pesan lagi,” Tante Lianawati mengenang. Agar orang-orang tertarik untuk mencobanya, mereka menjual sepiring gado-gado hanya seharga Rp6.000, harga yang sangat murah untuk saat itu. Perlu waktu lebih dari dua tahun untuk mempertahankan kualitas dan mempromosikannya dari mulut ke mulut sebelum akhirnya menjadi favorit warga sekitar.

Bahkan, setelah melewati dua dekade, Oom Teddy dan Tante Lianawati terlihat masih sering terlibat dalam urusan operasional sehari-hari. Oom Teddy, yang merupakan seorang insinyur, membuat mesin khusus untuk menggiling kacang mete menjadi bumbu dengan tekstur sangat lembut. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ia sudah tidak menangani urusan dapur, Tante Lianawati masih tetap mengurus langsung penyiapan sayuran.

Meski telah sukses, mereka tidak mau mengambil jalan pintas. Semua bahan masih diperiksa sendiri untuk memastikan kualitasnya. Pernah suatu ketika, mereka mencoba menggunakan kacang mete impor yang lebih murah, tetapi setelah itu mereka langsung menolaknya. “Setelah dicoba, ternyata enggak enak,” ucap Oom Teddy. “Buat apa untung besar tapi enggak abadi?”

Oom Teddy dan Tante Lianawati tidak meromantisasi masa depan. Mereka paham bahwa usaha makanan, seberapa pun disukai, akan terus berubah sesuai selera konsumen. Namun, mereka tidak tertarik untuk mengikuti tren. “Kami tugasnya sebagai orang tua menjaga ini aja. Untuk selanjutnya, tugasnya anak,” ujar Oom Teddy. Anak-anak mereka juga mulai memperkenalkan berbagai ide baru, membantu memasarkan secara online, dan menggaet pelanggan dari kalangan anak muda lewat platform seperti TikTok. Namun, mengikuti perkembangan zaman bukan berarti mengorbankan tradisi. Tantangan sebenarnya, yang sering sekali diingatkan oleh Oom Teddy, bukan sekadar mempertahankan bisnis, tetapi juga menjunjung tinggi standarnya. “Kualitas kontrol jangan lepas,” ujarnya.

Tante Lianawati sependapat. Dia menambahkan bahwa konsistensi sama pentingnya dengan rasa. Ia yakin kejujuran dan kebersihan dalam menyiapkan makanan bukanlah hal yang bisa dikompromikan, dari cara mencuci sayuran dengan benar hingga memastikan staf menerapkan protokol kebersihan. “Yang customer makan, kita juga ikut makan,” ujarnya. “Kalau mereka sakit gimana?” Baginya, tidak ada artinya mencari nafkah jika tidak dilakukan dengan penuh kejujuran.

Untuk saat ini, Oom Teddy dan Tante Lianawati tetap terlibat langsung, bangun setiap pagi dengan tujuan yang sama. Restoran yang mereka bangun dari nol ini sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat.

Warisan yang ingin mereka turunkan bukan sekadar resep atau merek, tetapi juga filosofi: bahwa makanan lezat yang disiapkan dengan penuh kejujuran dapat bertahan lama. “Bahasa jadulnya,” kata Oom Teddy sambil merenung, “tidak lekang oleh waktu.”




Discover Other Stories