Mengacung Jempol untuk yang Sederhana

Di kalangan masyarakat Indonesia, ada pepatah “nama adalah doa”. Sebelum kelahiran seorang anak, orang tua sering kali menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan nama yang sempurna dengan harapan nama itu bisa membentuk karakter dan masa depan sang anak, seperti harapan yang dibisikkan ke semesta. Nama, layaknya doa, dimaksudkan untuk melekat, untuk terwujud. Maka, sebagaimana memberi nama anak, memberi nama restoran pun punya harapan tersendiri kalau bukan untuk kejayaan, setidaknya untuk meja-meja yang selalu terisi.

Namun, cerita di balik nama Mie Ayam Si Jempol justru jauh dari mimpi-mimpi besar. Nama itu dipilih oleh pemilik pertama berdasarkan kepraktisan saja, tanpa banyak pertimbangan atau proses panjang.

Mie Ayam Si Jempol didirikan pada 1992 oleh orang tua Debby Febrina yang meskipun tak punya latar belakang kuliner memutuskan mencoba peruntungan dengan berjualan mi dari dalam mobil. Ibunya, yang menjadi penggerak utama bisnis ini, memang bukan berasal dari keluarga juru masak, tetapi gemar makan. Ia punya naluri alami dalam mengolah rasa. Sering kali ia mencicipi masakan lalu berpikir, "Kayaknya kurang ini deh. Mungkin pakai ini deh." Memasak menjadi proses yang alami dipandu oleh rasa ingin tahu dan lidah yang terlatih.

Lokasi pertama warung mereka ada di dekat area yang sekarang dikenal sebagai Gedung Parkir 2 Mal Kelapa Gading, pada masa ketika pilihan tempat makan di sekitarnya masih sangat terbatas. Kedai mi halal juga belum banyak sehingga orang tua Ci Debby memilih membuat versi yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. “Mereka bikin yang halal,” kata Ci Debby. “Jadi, semua orang mungkin bisa coba, bisa makan.” Menu awalnya sederhana mi ayam, bihun, pangsit, dan nasi tim—tapi pelan-pelan dikenal dari mulut ke mulut karena konsistensi rasa.

Setelah lima tahun, mereka pindah ke Gading Food City, dan Mie Ayam Si Jempol pun menjadi bagian dari keseharian warga sekitar selama lebih dari dua dekade. Menunya berkembang dengan berbagai hidangan bergaya Chinese food, tapi mi ayam tetap menjadi andalan kenyal, gurih, dan sering disajikan dengan tong cai yang khas. Ketika food court itu akhirnya tutup, mereka sempat pindah ke Boulevard untuk beberapa waktu sebelum akhirnya menetap di lokasi sekarang di Jalan Raya Kelapa Lilin.

Ci Debby masih duduk di bangku kelas III SD saat usaha ini dimulai, tapi kenangannya akan masa-masa awal itu sangat kuat. Sepulang sekolah, ia langsung ke kedai, membantu sebisanya menyapu, berjaga di depan, dan menyaksikan bagaimana orang tuanya membuka toko setiap hari. Namun, rasa ingin tahunya benar-benar tumbuh di dapur. Ia sering memperhatikan ibunya mengolah bahan mentah, melihat tangannya bergerak otomatis seolah-olah menciptakan hidangan dari ingatan dan intuisi, bukan resep. “Dari dulu mama yang masak nasi tim,” Ci Debby mengenang. “Saya lihat terus, lama-lama kepengen coba juga.” Rasa ingin belajar itu tumbuh diam-diam dan akhirnya membentuk jalannya sendiri.

Ketika ayahnya meninggal pada 1997, Ci Debby ikut turun tangan membantu ibunya menjalankan bisnis. “Dari situ ya mama aku nge-fight sendiri,” katanya. “Dengan dia dan dua anak, ya, udah dia nge fight sendiri.” Sekarang, Ibunya berperan sebagai mentor dan auditor sesekali datang, memberi masukan, mencicipi masakan untuk memastikan rasanya tidak berubah.

Meski namanya merujuk pada mi ayam, bukan hanya mi-nya yang pantas diacungi jempol. Seiring waktu berjalan, Mie Ayam Si Jempol justru dikenal juga karena hidangan nasi ala Chinese nya, yang kini justru mendominasi lebih dari setengah isi menu. Salah satu yang paling menonjol adalah fuyunghai bagian luarnya garing, dalamnya lembut, dan tanpa lapisan minyak berlebih seperti yang sering dijumpai pada versi-versi lain. Sausnya manis-asam, ditaburi kacang polong, cukup untuk melengkapi tanpa mendominasi rasa aslinya.



Satu lagi yang diam-diam menjadi favorit adalah kangkung hotplate. Saat disajikan, masih terdengar suara desis panas dari piring besi yang tampak seperti langsung dibawa dari restoran era 1990-an. Nuansanya memang klasik, tetapi kualitasnya tetap kuat kangkung yang empuk dibalut saus bawang putih yang harum dan sedikit gosong karena panas tinggi, masih mendidih saat sampai di meja.

Untuk sebuah tempat yang dikenal sebagai penjual mi ayam, lauk-pauk Chinese style mereka ternyata punya penggemar setia tersendiri. Mungkin itu juga yang membuat nama restorannya menjadi terasa menggelitik. Setelah segala perhatian tertuju pada masakan Chinese-nya, orang mungkin mengira nama tempat ini punya cerita yang mendalam. Lalu, kenapa Mie Ayam Si Jempol?

Ci Debby tertawa saat ditanya. Jawabannya, katanya, sangat sederhana. Orang tuanya memilih nama itu secara spontan saat mereka masih berjualan di tenda. Tidak ada rencana pemasaran atau alasan sentimental di baliknya. “Dulu pikir masih di tenda, ya udah lah, Mie Ayam Jempol. Kayaknya ‘sip’ gitu, ‘oke’ gitu. Jadi sesimpel itu aja,” ujarnya sambil tertawa.

Namanya mungkin sederhana, tetapi kerja keras di baliknya tidak pernah sederhana. Saat Ci Debby resmi mengambil alih bisnis pada 2020, sang ibu memercayakan warisan keluarga kepadanya. Saat ini, mereka bisa menghabiskan hingga 20 kilogram ayam kampung segar setiap hari, dan Ci Debby tetap memimpin langsung di dapur. Meski ada tim yang membantu persiapan, beberapa hal tetap menjadi tanggung jawab pribadinya terutama nasi tim, yang hingga kini masih ia buat sendiri. “Ayamnya mereka rebus, tapi aku yang masak. Takutnya kalau udah dipegang orang, rasanya beda.”

Bukan soal kontrol, melainkan kesinambungan. Harapannya pun sederhana dan berasal dari semangat yang sama: agar usaha ini terus bertahan, agar bisa diteruskan oleh generasi berikutnya atau bahkan cucunya kelak. Sebagai generasi kedua, Ci Debby melihat dirinya hanya sebagai bagian dari cerita yang panjang. Kalau nanti anaknya memutuskan untuk melanjutkan, itu akan jadi berkah tersendiri. Ia berharap cara memasak instingtif yang dulu dimiliki ibunya bisa menurun dan menjadi hal yang alami juga bagi anak-anaknya.

Untuk sekarang, Mie Ayam Si Jempol tetap berjalan setelah hampir tiga dekade dan ribuan mangkuk mi kemudian dan masih bertahan dengan nama dan prestasi yang ternyata jauh lebih dari sekadar “oke”.


Discover Other Stories