Saat Kohei Asari secara resmi mengambil alih Ippeke Komachi pada 2021, ia bukan sekadar melanjutkan bisnis ia pulang ke rumah. Restoran Jepang di Kelapa Gading ini sudah seperti ruang tamu kedua baginya. Ayahnya, Toshiro Asari, membangun tempat ini dari nol, menanamkan cinta pada kenyamanan, konsistensi, dan kualitas.
Awalnya restoran ini bernama Komachi, sebuah tempat makan dengan set menu sederhana yang didirikan oleh Toshiro-san pada awal 2000-an. Meski latar belakangnya di bidang desain, bukan kuliner, ia punya naluri seorang penikmat makanan sejati. Petualangannya di dunia F&B dimulai lewat Hama Steakhouse, waralaba Jepang yang membawanya ke Indonesia pada era 1970-an dan 1980-an. Ketika Hama tutup, Toshiro memilih tetap tinggal melihat Jakarta sebagai peluang untuk membangun sesuatu miliknya sendiri.
Komachi menjadi jawaban Toshiro-san untuk makanan Jepang yang hangat dan akrab terjangkau, berakar pada tradisi, tapi tidak kaku. Tak lama kemudian, ia memperluas konsep tersebut dengan membuka Ippeke, restoran sushi conveyor belt. Pada 2015, keduanya bergabung menjadi satu nama: Ippeke Komachi. Konsep baru ini membawa semangat keduanya set menu penuh soul dan sushi yang berputar ceria di ruang makan.
Kohei-san tumbuh besar di tengah semuanya, dan saat ayahnya wafat, ia memutuskan mengikuti jejak sang ayah.
“Aku SMA dan kuliah di Jepang,” dia bercerita. “Ambil culinary di Cordon Bleu, terus perhotelan juga, dan sempat belajar basic-basic sushi di Tokyo Sushi Academy.” Meskipun pelatihan formalnya singkat, fondasinya kuat dan itu terlihat jelas.
Kohei-san tampak sebagai sosok yang lembut dan berjiwa muda, tapi pengetahuannya mendalam, dibentuk dari pendidikan formal dan pengalaman bertahun-tahun menyerap semua hal dari sekelilingnya. Ia tidak pelit ilmu, dan dengan santai menjelaskan sejarah salmon yang mengejutkan: “Itu awalnya dari Norway atau Alaska, bukan ikan tradisional Jepang. Tapi karena udah jalan dari dulu, jadi culture-nya sendiri.” Pada dasarnya, ikan impor itu kini menjadi favorit lokal.
Bahkan, hingga kini, sebagian besar menu di Ippeke Komachi tetap tak berubah sejak masa Toshiro-san. “Kalau resepi memang dari zaman almarhum papaku sama,” katanya. “Dulu juga ada chef-chef Jepang yang bantu kembangin menu sesuai rasa makanan di Jepang.”
Menu andalan mereka masih disajikan sebagaimana mestinya: sederhana, memuaskan, dan bikin orang balik lagi dan lagi. “Open for everybody, value-nya gampang kelihatan,” ujar Kohei-san tentang restorannya. “Dan ya, thank you to the customers juga mereka percaya dengan kualitas yang dijaga juga."
Nama “Ippeke” diambil dari dialek kampung halaman Toshiro-san di Prefektur Akita, Jepang. Maknanya kurang lebih “makan dengan lahap” atau “makan banyak” mantra yang pas untuk tempat yang dibangun atas dasar kehangatan dan asupan. Sementara itu, “Komachi” mengacu pada Ono no Komachi, penyair legendaris abad ke-9 yang juga berasal dari Akita. Terkenal karena kecantikannya dan syair-syair melankolisnya, ia masih menjadi ikon budaya di Jepang. Bahkan, logo Ippeke Komachi pun terinspirasi dari salah satu puisinya. Tanpa perlu dijelaskan, namanya punya banyak makna menghubungkan restoran ini dengan sebuah tempat dan sebuah perasaan.
Perasaan itu, bagi Kohei-san, adalah rumah dan itulah yang ia harapkan bisa dirasakan oleh setiap tamu yang datang.
Makanan memang menjadi hal utama, tapi kualitas saja tak cukup. Dua pilar lain dari Ippeke Komachi adalah kenyamanan dan kepedulian.
“Kita juga melihat tamunya tuh bukan tamu saja, tapi keluarga yang udah berjalan terus dari generation to generation.”
Ia bercerita tentang pelanggan tetap yang kini membawa anak-anak mereka, meneruskan tradisi yang dimulai sejak mereka masih kecil. “Anaknya datang juga coba makan di Ippeke, dan mereka bilang, ‘Wah, ini makannya sama kayak aku masih kecil loh!’”
Di bawah pengawasannya, dapur tetap mengutamakan hal yang sama seperti dulu: bahan berkualitas tinggi, rasa yang konsisten, dan harga yang masuk akal tanpa mengorbankan mutu. Kohei-san ingin Ippeke Komachi terasa seperti ruang tamu kedua untuk siapa pun tak peduli bagaimana cara mereka menikmati makanannya. Ia tertawa mengenang momen-momen unik ada yang mencampur nasi langsung ke sup miso atau mencocol sushi ke sambal.
“Macam-macam, ya. Tapi, ya, we're open-minded lah semua orang punya different taste. If they enjoy it, that’s fine. Yang penting mereka balik ke sini lagi.”
Kohei-san tentu punya menu favorit sendiri. Ia menyarankan untuk memulai dari sushi setiap potong dibuat dengan niat, kualitas tinggi, dan harga yang wajar. Namun, favorit pribadinya adalah miso ramen, yang terinspirasi dari chuka ramen khas Sapporo. “Agak unik,” katanya, karena tak seperti ramen-ramen kebanyakan di Jakarta.
Lalu, ada satu hidangan yang selalu ia datangi kembali: aki dori negi sauce ayam goreng renyah dengan saus bawang manis pedas. “Itu dari kecil aku makan terus,” katanya. Rasanya berani, menghangatkan, dan sedikit bikin nostalgia. “Very comfortable.”
Kata itu comfortable sering muncul dalam obrolan dengan Kohei-san. Itulah alasan para pelanggannya merasa seperti di rumah sendiri dan mengapa restoran ini terus jadi langganan lintas generasi. Itu juga merupakan warisan dari Toshiro-san, yang menurut sang anak punya filosofi sederhana.
“Kalau papaku tuh enggak terlalu mikir idenya gimana-gimana. Yang penting, kalau makanannya enak, siapa pun bisa terima.”
Kohei berharap suatu hari nanti bisa membawa Ippeke Komachi ke lebih banyak orang mungkin ke Jakarta Selatan, agar para pelanggan setianya tak perlu jauh-jauh ke Kelapa Gading untuk merasakan “rumah”-nya. Dan kalau waktunya tiba, Kohei-san tidak akan terburu-buru. Lagi pula, semangatnya masih sama seperti saat sang ayah membuka Komachi pertama kali: “This is comfort food. Semua orang bisa terima. Ya udah lah, let’s do it.”
Dan mungkin, di sanalah babak berikutnya dari perjalanan Ippeke Komachi akan dimulai.