Sepintas, Rumah Makan Marannu memang mudah terlewat di antara banyaknya tempat makan yang berjejer di Jalan Boulevard Raya. Dengan ruang sederhana, area makannya yang semi-outdoor membuat para pejalan kaki yang melintas bisa mengintip ke dalam dapur terbukanya. Asap dari panggangan arang mengepul saat ikan bawal putih dan bandeng dibakar sampai matang. Suara kompor gas yang berdesis dan dentingan peralatan dapur yang bertemu dengan irama saat nasi goreng merah diaduk. Di dekatnya, ada sepanci besar sop konro yang mendidih, sementara tangan-tangan terampil memotong lempengan tebal daging konro bakar dengan sekali gerakan.
Dapur terbuka terhubung langsung ke area tempat duduk bergaya semi-indoor, dengan meja-meja berwarna oranye menyala tampak mencolok berlatar belakang kesibukan para juru masak yang tak berhenti bergerak. Di salah satu meja, Bu Netty, ibu dari keluarga ini, tengah sibuk mengemas jeruk nipis untuk pesanan online. “Semua bikin sendiri,” ucapnya, merujuk pada pasta bumbu hingga kaldu yang sudah direbus berjam-jam.
Anak laki-lakinya, Pak Yudhi Samson, tumbuh besar di rumah makan ini. Saat masih kecil, jika ia berbuat nakal, orang tuanya pasti akan langsung membawanya ke rumah makan dan menyuruhnya bekerja. “Disuruh ngebantuin, layanin tamu. Itu sebagai bentuk hukuman,” Yudhi mengenang. Pekerjaan yang semula dianggap sebagai hukuman justru menjadi pelajaran berharga. Pelajaran awal tentang disiplin dan kerja keras tersebut menjadi bekal baginya untuk peran yang dia jalani saat ini.
Marannu, yang berarti “gembira” dalam bahasa Makassar, adalah kelanjutan dari warisan yang dimulai pada 1967. Orang tua Bu Netty, Sinyo dan Rannu, mendirikan dan mengelola rumah makan yang sukses dengan nama yang sama di Pasar Sentral Makassar. Pindah ke Jakarta bukanlah keputusan yang mudah. Awalnya, seorang paman visioner yang pertama kali mengusulkan soal pemindahan usaha ini, tetapi Bu Netty ragu. “Aku enggak berani merantau,” katanya. “Kalau nanti merantau dan tidak berhasil, aku malu, kan,” dia mengenang sambil tersenyum kecil. Perasaan takut akan kegagalan sangat besar meninggalkan rumah berarti mengambil risiko atas segala hal.
Namun, pamannya tak menyerah. Dia melihat ada potensi di Kelapa Gading, yang saat itu masih merupakan daerah baru dan belum ada rumah makan yang menyajikan masakan khas Makassar. Perlu waktu dua tahun untuk membujuk Bu Netty sampai akhirnya ia setuju.
Kesuksesan itu tidak terjadi dalam semalam, tetapi datang dengan cepat berkat pemasaran yang strategis. Keluarga ini memberikan makanan gratis kepada sejumlah pelaut dari Makassar dan menerapkan diskon 50% untuk pemesanan di larut malam. “Rame lah sampai sekarang, kita bersyukur Tuhan,” ujar Bu Netty.
Saat ini, putranya, Pak Samson, meneruskan tradisi tersebut. Meskipun orang tuanya masih terlibat, ia yang mengawasi urusan harian bisnisnya. Nama “Marannu” dipilih dengan maksud tertentu. “Kita juga maunya orang-orang yang hampir ke sini, datang ke sini, itu mereka merasa bahagia, ceria,” Pak Samson menjelaskan. Resepnya tidak berubah, sebagai bentuk penghormatan kepada cita rasa asli dari kakek dan neneknya. “Kami tidak mau mengubah rasa masakan karena itu yang membuat kami berbeda.”
Seiring waktu berjalan, sejumlah rumah makan khas Makassar bermunculan di Kelapa Gading, tetapi Pak Samson tidak memikirkan persaingan. “Saya tidak bisa bilang apa yang membuat makanan kami spesial karena setiap orang pasti akan bilang punya mereka lebih spesial.” Sebaliknya,
Marannu selalu mengandalkan resep-resep keluarga turun-temurun yang mereka bawa dari Makassar ke Jakarta. “Kalau memang rezeki kita, orang pasti akan suka dengan kita.”
Bagian dari evolusi ini adalah beradaptasi terhadap teknik bisnis modern sembari mempertahankan tradisi. Perlahan-lahan, Pak Samson mengenalkan sistem komputerisasi untuk menggantikan pembukuan manual yang dulu diandalkan orang tuanya. Mereka telah menggunakan transaksi digital dan sistem pemesanan, tetapi ada beberapa hal yang tak berubah.
Rumah makan itu sendiri menjadi bukti nyata dari keseimbangan tersebut. Walaupun ada beberapa perubahan yang telah dilakukan, inti dari ruangan ini tetap sama. Tata letak dapur hingga meja kayu di area konro bakar tidak berubah sejak rumah makan ini pertama kali dibuka.
Terlepas dari perkembangannya, Marannu tetaplah merupakan bisnis keluarga, dengan anggota generasi kedua dan ketiga mengelola cabang yang berbeda. Ini adalah upaya bersama, setiap generasi berperan dalam menjaga rumah makan agar tetap aktif. Inilah cara mereka untuk tetap buka setiap hari, tanpa terkecuali.
Namun, komitmen yang kuat itu diuji selama masa pandemi, ketika rumah makan ini menghadapi salah satu permasalahan terberatnya. “Saat itu, kami harus mengurangi karyawan dan beralih ke penjualan online,” ujar Samson. Namun, mereka tidak pernah menutup restoran, melainkan mengandalkan uang tabungan untuk terus menggaji para karyawan.
Sekarang, meja-meja di rumah makan ini kembali penuh, panggangannya tidak pernah berhenti menyala, dan Marannu tetap menyajikan hidangan khas Makassar, sama seperti puluhan tahun yang lalu. Bu Netty begitu bangga atas apa yang sudah dibangun oleh keluarganya. “Dulu kami punya tempat masih satu. Sekarang udah tiga, berarti sukses ya.”
Seiring dengan perubahan zaman, semangat Marannu tak tergoyahkan. Masih menggunakan rempah-rempah yang sama, tangan yang sama, dan panggangan arang yang sama—semua ini adalah ciri khas dari warisannya. Lingkungan mungkin berkembang dan persaingan makin ketat, tetapi selagi asap dari panggangan mereka masih mengepul di Jalan Boulevard Raya, Rumah Makan Marannu selalu punya tempat tersendiri dalam kancah kuliner Kelapa Gading.