Kota Jakarta terkenal akan kekacauannya, bahkan perjalanan dua jam ke kantor dianggap sebagai hal yang biasa. Bagi sebagian besar penduduk, bekerja dekat rumah adalah kemewahan langka hal inilah yang kebetulan dinikmati oleh Lim Kim Meng, atau lebih dikenal sebagai Oom Ameng. Perjalanannya ke tempat kerja hanya ditempuh dengan naik motor sebentar menyeberangi jalan untuk sampai ke Kwetiaw Sapi Kelapa Gading, restoran yang ia bangun dari nol.
Berlokasi strategis di Jalan Boulevard Raya, restoran ini berada tepat di bawah jalur LRT, tempat kereta melintas setiap sepuluh menit. Tempatnya sederhana, menghadap jalan dan langsung terbuka ke trotoar, tanpa banyak keramaian, tanpa hiasan berlebihan tipe tempat yang dimasuki begitu rasa lapar menyerang. Melihat kesederhanaan restorannya, tak sedikit yang bakal terkejut mengetahui bahwa tempat ini adalah bagian dari jaringan enam gerai yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya.
Perjalanan jarak dekat ke tempat kerja itu adalah kemewahan yang diraih oleh Oom Ameng dengan susah payah. Perjuangannya untuk membuka restoran tepat di seberang rumahnya itu sudah lama dia mulai dan dari tempat yang jauh.
Kisahnya dimulai pada 1987, ketika pria kelahiran Pontianak ini pertama kali tiba di Jakarta untuk mencari nafkah. Ia memulai dari posisi paling rendah di sebuah restoran kwetiau, di bawah bimbingan seorang mentor ia mengantarkan pesanan, mencuci piring, dan perlahan-lahan naik jenjang. Akhirnya, bosnya memercayakan tugas membersihkan babat dan urat kepadanya pekerjaan berulang yang membutuhkan banyak tenaga serta menguji kesabaran dan ketelitian. Baru setelah membuktikan dirinya melalui pekerjaan dapur yang tidak glamor itulah ia diajari cara memasak yang sebenarnya.
Proses belajarnya membutuhkan waktu dan kerendahan hati, tetapi itu menjadi fondasi dari segala sesuatu yang akan ia bangun kemudian. “Wah, susah,” katanya, mengenang tentang masa-masa awal ketika ia memutuskan membuka usaha sendiri. “Kita harus cari modal sendiri, mesti apa sendiri. Merintis sendiri, segala macam. Kita kan belum punya apa-apa.”
Oom Ameng duduk tegak, matanya jernih saat ia mengingat perjuangannya untuk membangun sesuatu dari nol. Pembawaannya lugas dan tidak gentar tidak ada sedikit pun kesan mengeluh saat ia berbicara tentang kerja kerasnya. “Usaha itu juga enggak gampang sekali,” katanya dengan nada datar. “Pada awal memperkenalkan kwetiau ini ke Kelapa Gading bukan segampang itu. Harus benar-benar tekun.”
Ia berulang kali menekankan tentang pentingnya menjaga kualitas. Kembali ke poin itu seperti sebuah mantra. “Menjaga kualitas masakan kita supaya menjadikan suatu mutu yang bagus buat konsumen,” ujarnya.
Apa yang membuatnya terus bertahan dari hari ke hari adalah keyakinan sederhana bahwa begitu seseorang memilih sebuah profesi, dia harus memberikan komitmen penuh pada profesi tersebut. “Istilahnya sudah profesi, namanya sudah kerja. Ya harus kita terjunin ke profesi dan tekunin profesi itu,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Bagi Oom Ameng, hal itu berarti menciptakan makanan yang bisa dipercaya orang.
Meskipun Oom Ameng tidak berada di dapur lagi, jejaknya sangat jelas terasa. Kwetiau goreng khasnya tidak terlalu berminyak seperti kebanyakan, dengan gaya yang lebih kering dan kaya akan aroma wok hei serta berakar pada warisan kuliner Tiochiu. “Masakan Tiochiu itu enggak terlalu manis kayak Hokkien,” jelasnya.
Memilih penggunaan bumbu yang lebih ringan menghasilkan kwetiau goreng yang bertekstur lembut, matang sempurna, kaya warna, dan seimbang rasanya. Topping-nya pun banyak baik daging sapi, babat, maupun urat, semuanya dipersiapkan sendiri dengan telaten. Bila ingin hidangan seafood, ada pilihan kwetiau, bihun, dan nasi goreng yang dipenuhi topping udang, cumi, dan bakso ikan yang kenyal. Namun, yang sering kali langsung mencuri perhatian adalah tumpukan bakso tahu besar di bagian depan restoran, ditemani dengan kuah bening yang panas dan segar serta menghangatkan.
Setiap hidangan di menu tidak mengandung daging babi, sebuah pilihan sengaja yang dibuat demi kemudahan akses dan kepercayaan antara Oom Ameng dan pelanggannya. Saat ini, restorannya sedang dalam proses sertifikasi halal, sesuatu yang ia lihat sebagai langkah berikutnya untuk memastikan makanannya tetap dapat dinikmati oleh lebih banyak orang tanpa memandang latar belakang atau kepercayaan.
Meski kini keempat anaknya menangani operasional sehari-hari di enam cabang di Jakarta dan sekitarnya, Oom Ameng masih sering mampir ke lokasi untuk mengawasi. Meskipun ia tidak lagi memasak, muscle memory-nya tetap ada: berdiri di belakang wajan, Om Ameng jelas belum kehilangan sentuhannya. Gerakannya cepat, luwes, dan presisi ritme alami dari seseorang yang sudah menggoreng ribuan porsi sebelumnya.
Meski usianya tak lagi muda, gerakannya tetap gesit dengan ketajaman yang jauh lebih taruna dibanding penampilannya. Saat Oom Ameng masuk ke dapur, timnya tidak sekadar memberi ruang, tetapi juga memperhatikan. Ada rasa hormat yang tak terucap dalam cara mereka memandangnya bekerja: sebagian dari muscle memory, sebagian dari kepiawaian, dan semuanya hasil dari kerja keras yang panjang.
Setelah dua puluh tahun menyajikan ribuan mangkuk kwetiau, Oom Ameng berbicara tentang restorannya dengan penuh bangga menyebutkan nama-nama pelanggan artis dan memutar video wawancara dengan berbagai stasiun TV di ponselnya. Alhasil, ketika Oom Ameng melakukan perjalanan setiap pagi menyeberangi jalan dari rumah ke tempat makan miliknya, hal itu bukan hanya untuk memeriksa usaha, tetapi juga memastikan bahwa semuanya dari urat hingga babat, sampai wok masih sesuai dengan warisan yang ia bangun dari nol.