Nama Jalan Torompio di Kelapa Gading diambil dari nama tarian tradisional suku Pamona di Sulawesi Tengah, yaitu “Torompio”, yang berarti “angin berputar”. Tarian ini menggambarkan luapan cinta remaja yang menggebu-gebu. Memang pantas jika lingkungan ini menjadi hunian bagi Sari 21, sebuah restoran dengan hidangan yang membangkitkan hasrat tersendiri.
Sari 21 menempati sebuah ruko yang berwarna pink muda yang sulit untuk dilewatkan begitu saja. Pemilik restoran ini, Benny Sieyanto, atau yang akrab disapa Ko Benny, mengungkapkan bahwa pemilihan warna ini didasari oleh pragmatisme sekaligus untuk menjaga agar pernikahan tetap bahagia. "Istri saya suka warna pink," katanya sambil tersenyum di ruang makan lantai dua. Di atap gedung dan di atas lantai yang menjadi tempat tinggal para stafnya, terlihat wajan-wajan berusia puluhan tahun mendesis dan api berkobar saat juru masak menyiapkan hidangan ala Tionghoa-Makassar yang diwariskan secara turun-temurun.
Ko Benny mampu mengingat tanggal dan peristiwa penting secara tepat. Tanyalah seputar bisnisnya, maka ia akan menceritakannya dengan lugas bak arsip hidup: kakeknya membuka sebuah restoran sederhana di Makassar pada 1939; ibunya membawa resep-resepnya ke Jakarta dan mendirikan Sari 21 di Gading Food City pada 1991; dan mereka pindah ke lokasi baru di Jalan Torompio pada 2023.
Sebetulnya yang pertama kali bermimpi untuk mengembangkan bisnisnya ke Ibu Kota adalah neneknya. Ia ingin mencoba peruntungannya saat restoran Makassar lainnya bermunculan di kota ini. Meskipun ayahnya awalnya sempat ragu, ia kemudian setuju saat mengetahui bahwa Plaza Kelapa Gading tengah merambah. Bisnis keluarga ini dimulai pada 1991, bertepatan dengan terbentuknya Gading Food City.
Nama Sari 21, Ko Benny menjelaskan, merupakan perpaduan antara keadaan dan branding yang cerdas. “Di Jakarta itu identik menggunakan angka di belakang nama,” ujarnya. Meminjam kata “Sari” dari sebuah restoran sekitar dan “21” dari Cinema 21, ayahnya menciptakan sebuah nama panggilan yang terasa modern dan akrab.
Di masa awal berdirinya, menu yang disajikan berfokus hanya pada dua hidangan: nasi goreng merah, yaitu nasi goreng dengan saus tomat; serta ifumi, yaitu mi renyah yang diguyur dengan kuah yang kental dan gurih. Hidangan mi ini dibuat berdasarkan resep Kanton yang diturunkan dari kakeknya kepada ayahnya, yang kemudian diubah dan diberi nama oleh ibunya. Seiring berjalannya waktu, pilihannya pun bertambah untuk menampung pelanggan yang terus bertambah dan beragam.
Meskipun Sari 21 terkenal dengan nasi goreng merahnya, nasi goreng kuningnya juga layak mendapat perhatian. Tidak seperti nasi goreng kuning pada umumnya, nasi goreng yang satu ini justru memperoleh warnanya bukan dari kunyit, melainkan dari sari cabai yang dibuat sendiri, yaitu sari cabai pekat yang menghasilkan warna kuning yang pekat sekaligus rasa pedas menggigit. Kemudian, ada ayam goreng kering, yang terdiri atas paha ayam berbalut tepung yang telah digoreng hingga keemasan lalu diiris kecil-kecil sebelum ditaburi bawang putih goreng. Tampak sederhana, tetapi dibalut dengan tekstur dan rasa yang mendalam, persis seperti restoran yang telah menghidangkannya secara turun-temurun.
Tantangan era kini telah mengubah cara Sari 21 beroperasi. Setelah hampir tiga dekade, masa pandemi mendorong Ko Benny untuk merelokasi bisnisnya dari sekitar mal ke sebuah ruko. Ia pun mengakui bahwa kegiatan operasional harian memang tak kenal lelah, apalagi di masa kenaikan harga bahan baku dan beralihnya kebiasaan konsumen yang memberikan tekanan pada usaha kecil. Tanggung jawab itu terus ada, dan ekspektasi tidak pernah berkurang. “Saya udah enggak bisa di dapur,” ucapnya, mengingat kembali masa-masa ketika ia masih harus memasak sambil menelepon. “Terlalu banyak pikiran, stres. Ngambil centongnya gimana kalau tiba-tiba melamun?” ujarnya sambil tertawa.
Saat ini, ia menyerahkan urusan dapur kepada karyawan yang dia percayai. Tak hanya soal kenyamanan, tetapi juga sebuah bentuk kepercayaan. Dia telah memberikan kunci resep-resep yang telah diwariskan selama tiga generasi, percaya pada kepedulian dan konsistensi mereka.
Dia adalah sosok yang setiap hari berada di belakang meja kasir, yang dengan tenang memantau jalannya usaha. Ingatannya adalah kumpulan preferensi klien, kuitansi yang sudah usang, dan riwayat pemasok. Namun, tujuannya tidak pernah melakukan ekspansi demi kepentingannya sendiri. “Banyak yang tanya, bisa dibikin franchise enggak?” ucapnya. “Saya bilang, kalau mau franchise enggak apa-apa karyawannya belajar dulu di sini, mau enggak?” Resep, teknik, bahkan naluri, semua itu bukanlah berasal dari buku panduan. Semua itu terbentuk berkat ingatan kemampuan motorik dan jam terbang yang tinggi, yang diturunkan seperti sebuah warisan.
Menjalankan bisnis keluarga bukanlah hal yang tanpa perjuangan. Ada hari-hari ketika bisnis berjalan lambat, biaya operasional meningkat, dan rasa ragu mulai muncul. “Dukanya sih terjadi kalau lagi omzet sepi aja,” katanya. "Tapi banyakan sukanya, sih." Komitmennya adalah total, bahkan menurut pengakuannya jika tingkat energinya telah berkurang. Namun, ia belum memiliki rencana untuk pensiun dalam waktu dekat. “Kalau bisa, saya terusin sampai saya jadi kakek-kakek,” ujarnya dengan tegas.
Sari 21 mungkin tidak terlalu dikenal di luar Kelapa Gading, tetapi bagi mereka yang tahu, pasti tahu. Ada yang mengingatnya karena pernah berkunjung ke Gading Food City, ada juga yang menemukannya melalui pencarian di Google. Apa pun caranya, mereka akan datang. Selama mereka datang, Ko Benny juga akan ada di sana.